Cerita
Adat perkawinan Melayu Ketapang dimulai jauh sebelum akad dengan tahap meresik‑resik, yaitu ketika keluarga calon pengantin laki‑laki mengutus telangke atau mak comblang untuk mencari informasi dan “membaca” kesediaan keluarga calon mempelai perempuan. Jika ada kecocokan, dilanjutkan ke tahap membuka mulut dan ngantar telangke, saat keluarga laki‑laki datang membawa tempat sirih berisi sirih, pinang, gambir, dan tembakau sebagai simbol niat baik meminang; jawaban diterima atau ditolak disampaikan secara halus melalui kondisi tempat sirih yang dikembalikan. Setelah pinangan diterima, keluarga laki‑laki melakukan ngantar tande (mengantar tanda) berupa pakaian, alat rias, payung, hingga perhiasan sebagai pengikat pertunangan, lalu disusul ngantar barang dengan perlengkapan rumah tangga pengantin seperti tempat tidur, selimut, baju lengkap, dan hiasan lain yang dibawa dalam hantaran berhias dan diiringi tetabuhan adat.
Menjelang hari pernikahan, ada beberapa prosesi penguatan simbolik seperti titik gigi (bertitik gigi) bagi calon pengantin sebagai syarat memasuki jenjang pernikahan, serta malam pacar yang diisi mengulung pacar dan menguku, yaitu memberi pacar pada telapak tangan dan kuku kedua pengantin di pelaminan sederhana dengan doa agar mereka “bersinar” dan membawa kebaikan di lingkungannya. Puncaknya adalah akad nikah di hadapan penghulu, diikuti resepsi dan rangkaian adat lanjutan seperti mandi‑mandi pengantin dan makan Nasi Adap yang menegaskan penyucian, tolak bala, dan komitmen saling mengasihi. Di lingkungan keturunan Kesultanan Tanjungpura atau bangsawan Kayong, prosesi ini sering diperkaya dengan unsur belamen, penggunaan istilah gelar tradisional, serta penggunaan tumbuhan simbolik (bunga, daun, buah, rimpang) yang masing‑masing memiliki makna doa untuk kesuburan, rezeki, dan keharmonisan rumah tangga.
Menjelang hari pernikahan, ada beberapa prosesi penguatan simbolik seperti titik gigi (bertitik gigi) bagi calon pengantin sebagai syarat memasuki jenjang pernikahan, serta malam pacar yang diisi mengulung pacar dan menguku, yaitu memberi pacar pada telapak tangan dan kuku kedua pengantin di pelaminan sederhana dengan doa agar mereka “bersinar” dan membawa kebaikan di lingkungannya. Puncaknya adalah akad nikah di hadapan penghulu, diikuti resepsi dan rangkaian adat lanjutan seperti mandi‑mandi pengantin dan makan Nasi Adap yang menegaskan penyucian, tolak bala, dan komitmen saling mengasihi. Di lingkungan keturunan Kesultanan Tanjungpura atau bangsawan Kayong, prosesi ini sering diperkaya dengan unsur belamen, penggunaan istilah gelar tradisional, serta penggunaan tumbuhan simbolik (bunga, daun, buah, rimpang) yang masing‑masing memiliki makna doa untuk kesuburan, rezeki, dan keharmonisan rumah tangga.